(Menjadi) Cerdas Tak Harus di Dalam Kelas

!as WARTAWAN Belanda itu terheran, “Bagaimana mungkin Islam Salim dapat fasih berbahasa Inggris, sedangkan anak itu tak pernah disekolahkan?” Kekaguman Jef Last itu dijawab oleh Agus Salim, ayahanda Islam, “Apakah anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris, dan Islam pun ikut meringkik, juga dalam bahasa Inggris.”

Bukan hal yang aneh jika anak-anak Salim sangat lancar berbahasa Inggris. Bahasa harian di keluarga Salim adalah bahasa-bahasa asing. Agus Salim sendiri menguasai selusin bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, juga Turki. Anak-anak Salim memang tak pernah tersentuh sekolah formal kolonial, ia mendidik para buah hatinya sendiri di rumah, termasuk Islam Basari Salim, anak keenam. Hanya si bungsu Abdur Rachman Ciddiq yang sempat merasakan bangku sekolah, itu pun ketika era kolonial Belanda di Indonesia telah usai.

Agus Salim menganggap pendidikan kolonial Belanda sebagai “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut tercebur di dalamnya. Uniknya, jenjang pendidikan Agus Salim sendiri sangat lekat dengan sekolah-sekolah Belanda, bahkan ia adalah lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) se-Hindia Belanda, Salim lulus pada 1903. HBS adalah sekolah menengah yang hanya menerima siswa berkebangsaan Belanda dan Eropa, serta sedikit anak pribumi yang orang tuanya berpangkat.

Metode belajar keluarga Salim sangat menyenangkan tapi tetap mendidik. Anak-anaknya, sebagai “murid”, tak harus duduk di dalam kelas seperti di sekolah formal. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung diberikan secara santai, bahkan seolah-olah seperti sedang bermain. Sedangkan budi pekerti, sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya diberikan melalui bercerita dan obrolan sehari-hari. Salim pun memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya serta mengkritik, bahkan membantah jika tak sependapat, tak hanya sekadar mendengarkan apa yang disampaikan.

Membaca adalah satu kebiasaan menyenangkan yang diterapkan di keluarga. Agus Salim menyediakan buku-buku berbobot berbahasa asing. Hasilnya, kecerdasan anak-anak Salim berkembang pesat. Di usia balita mereka sudah lancar baca-tulis. Anak tertua, Theodora Atia alias Dolly, pada umur 6 tahun bahkan sudah menggemari bacaan-bacaan anak remaja, semisal kisah-kisah detektif Nick Carter dan Lord Lister. Jusuf Tewfik Salim atau Totok, anak kedua Salim, di usia 10 tahun sudah membaca habis Mahabarata, epos kepahlawanan India, dalam buku berbahasa Belanda. Tidak sekadar membaca, Totok bahkan bisa menerangkan makna tersirat yang terkandung di dalam kitab legendaris itu.

Mohammad Roem, tokoh nasional RI, juga pernah terbelalak takjub ketika Dolly dan Totok, di umur 13-15 tahun, sudah sanggup berdiskusi dengannya tentang pengetahuan yang diajarkan di sekolah tingkat atas. Usia Roem sendiri pada saat itu sudah menginjak 20 tahun.

Di masa kini, pendidikan non formal memang menjadi solusi jitu yang tak bijak jika ditampik. Di saat kualitas dan sistem pendidikan nasional masih dalam limbung, ditambah biaya sekolah yang kian melangit, juga orientasi pembodohan para peserta didik yang hanya mengejar ijasah, gelar, serta peluang kerja, sehingga mengaburkan esensi pendidikan sebagai ajang menuntut ilmu, home scholling ala keluarga Agus Salim adalah salah satu alternatif untuk membuat anak cerdas tanpa duduk di kelas.

Sejatinya, di era sekarang sudah cukup banyak pihak yang menerapkan pendidikan alternatif tersebut. Sebut saja Kak Seto, pakar dan pemerhati masalah anak, yang memilih untuk mendidik kedua putrinya di rumah dengan alasan sistem pendidikan formal saat ini kurang bisa menghargai peserta didik sebagai anak. Ada pula sastrawan cilik Nurhamdi, bocah berumur 5,5 tahun yang hanya menamatkan sekolah formalnya di TK untuk kemudian enggan bersekolah lagi. Nurhamdi adalah putra bungsu dari pendongeng asli Yogyakarta, Wachidus Ibnu Say alias Kak WeEs. Dengan metode belajar di rumah serta menjadikan alam sebagai laboratorium dan kelasnya, juga peran orang tua dan lingkungan sebagai gurunya, Nurhamdi kini sudah piawai membuahkan banyak karya.

Pada jalur “semi” formal, berkunjunglah ke Salatiga. Di sana terdapat SMP Qaryah Tayyibah yang digagas oleh Bahruddin. Sekolah ini menawarkan konsep belajar yang tak biasa, eksentrik, tapi tetap berkualitas, dengan memposisikan sama antara guru dan murid alias sekolah tanpa sekat kelas. Atau tengok sistem pendidikan pembebasan yang dianut Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY, yang hingga kini masih tetap eksis dalam menghasilkan produk (majalah, buletin, buku, SDM, dan lainnya) serta kader-kader yang cukup mumpuni dalam ranah jurnalistik. Bedanya dengan sekolah formal, baik SMP Qaryah Tayyibah maupun LPM Ekspresi tidak menjanjikan ijasah serta gelar akademis. Yang mereka tawarkan adalah proses belajar serta ilmu. Dik Doank, artis dan presenter, juga sempat membikin sekolah alam yang menyajikan sistem belajar yang unik dan menyenangkan.

Sekolah alternatif atau home scholling juga mulai diterapkan oleh para pelaku Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Salah satunya adalah LSM Rumpun Tjoet Nyak Dien Yogyakarta yang mendirikan Sekolah Pekerja Rumah Tangga (SPRT). Sekolah non formal bagi para pekerja rumah tangga ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan keterampilan bagi calon maupun yang sudah berstatus sebagai pekerja rumah tangga. Peran LSM juga cukup penting dalam melaksanakan pendidikan home scholling bagi anak-anak korban gempa di Yogyakarta dan sekitarnya dengan mengadakan proses belajar di tenda-tenda darurat atau di rumah-rumah warga.

Meski diragukan apakah para penggiat proses belajar non formal ini pernah memelajari, atau setidaknya mengenal konsep pendidikan home scholling yang dirintis Haji Agus Salim, namun peran mereka dalam menawarkan alternatif lain sebagai bentuk solusi terhadap “kekolotan” sekolah formal dengan tetek bengek birokrasinya cukup pantas untuk diberikan penghargaan yang layak. Agus Salim sendiri tentunya tidak pernah menyangka bahwa sikap nyeleneh yang dilakukannya dalam proses pendidikan di keluarganya ternyata telah membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk membumikan maksud bahwa untuk cerdas tak harus di sekolah. (Iswara N Raditya)

4 tanggapan untuk “(Menjadi) Cerdas Tak Harus di Dalam Kelas

  1. tp mas,dgn si ank g skul formal,bknkh akn ada tahap khdpn sosial’y yg trlwt.pdhl jd cerdas dlm akademik sj kn g ckp,gmn kalo si ank jd g bs bergaul?
    satu yg q ingat2,(kt’y) manusia sepintr apapun g bkl berarti bila dy g mmbri manfaat bg org lain.
    nah,lho?

  2. itulah problematiknya sekolah (di) rumah. saya sebenarnya juga sepakat ketika sekolah formal menjadi ajang yang paling massiv untuk menumbuhkan rasa sosial dan solidaritas anak2. kalo sekolah rumah, saya kira tergantung bagaimana kita menerapkan sistem pendidikannya, yang tidak melulu suntuk “belajar” tetapi juga bagaimana caranya agar bisa tetap bergaul dengan orang lain, terutama dengan teman-teman seumuran.

    banyak sekali cara yang bisa diterapkan. sekolah rumah bukan hanya mendidik anak untuk menjadi “pintar’ secara otak, tetapi juga membimbing anak untuk peka terhadap lingkungan sekitar. saya pikir, kak seto, kak WeEs, dan lain2nya juga tidak akan abai dengan pendidikan sosial anak-anak didiknya, meski mereka sekolah di rumah.

    makasih byk atas atensinya.

  3. iya sih, saya yakin mereka ga bakal abaikan soal itu. tapi entah kenapa ya kok saya skeptis anak-anak itu bisa membaur tanpa ada kendala kalau mereka hanya sekolah di rumah. mungkin lain kali mas klowor bisa ceritain contoh beserta hasilnya, apakah anak kak seto punya byk teman, misal. atau ini dijadikan tema majalah aja ya? hehe

  4. agak rumit juga sih ketika muncul gerakan2 pencerdasan yg lebih kreatif sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kita yang amburadul, tetapi ternyata justru memunculkan masalah2 baru, termasuk dalam hal sosialisasi dan psikis anak didik.

    suatu kali aku pernah lihat tayangan ttg home schoolling anak2 kak seto. mereka juga mengakui sih kalo mereka kesulitan dalam bergaul dengan anak2 seumuran mereka. nah, itulah. permasalahan ini harus segera dituntaskan, dan para calon guru seperti mahasiswa2 UNY lah yang seharusnya mengemban tanggung jwab itu di masa depan kelak, hehehe… are you ready???

Tinggalkan komentar